Sabtu, 07 Mei 2011

Representasi

Dalam politik, representasi berarti beberapa orang yang dipilih oleh rakyat dan berpihak kepada masyarakat secara keseluruhan sebagai ‘perwakilan’ mereka dalam kongress atau parlemen. Hal yang sama berlaku dalam bahasa, media, dan komunikasi, representasi dapat berwujud kata, gambar, sekuen, cerita, dsb yang ‘mewakili’ ide, emosi, fakta, dan sebagainya. Representasi bergantung pada tanda dan citra yang sudah ada dan dipahami secara kultural, dalam pembelajaran bahasa dan penandaan yang bermacam-macam atau sistem tekstual secara timbal balik. Hal ini melalui fungsi tanda ‘mewakili’ yang kita tahu dan mempelajari realitas.

Representasi merupakan bentuk konkrit (penanda) yang berasala dari konsep abstrak. Beberapa di antaranya dangkal atau tidak kontroversial - sebagai contoh, bagaimana hujan direpresentasikan dalam film, karena hujan yang sebenernya sulit ditangkap oleh mata kamera dan susah diproduksi. Akan tetapi beberapa representasi merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan budaya dan politik, sebagai contoh : gender, usia, kelas, dst. Karena representasi tidak terhindarkan untuk terlibat dalam proses seleksi, sehingga beberapa tanda tertentu lebih istimewa daripada yang lain, ini terkait dengan bagaimana konsep tersebut direpresentasikan dalam media berita, film, atau bahkan dalam percakapan sehari-hari. Faktanya, Dyer (1993:1) mengklaim bagaimana “kita terlihat menentukan sebagian bagaimana kita diperlakukan ; bagaimana kita memperlakukan orang lain didasarkan bagaimana kita melihat mereka (dan) penglihatan semacam itu datang dari representasi”. Hal ini itu seharusnya hadir bukan sebagai hal yang mengejutkan, kemudian mengenai bagaimana cara representasi diatur melalui pelbagai macam media, genre, dan dalam pelbagai macam wacana memerlukan perhatian yang menyeluruh.

Ras dan gender merupakan contoh bagaimana analisis seharusnya menumbangan tradisi yang terlihat masuk ke dalam representasi yang tidak akurat. Menuut Bogle (1989) “analisis representasi ras dalam sinema memperlihatkan bagaimana rasisme secara implisit dapat ditemukan”. Dalam kasus gender, banyak studi menemukan citra perempuan yang begitu rendah dan beberapa berpendapat bahawa mungkin saja untuk membalikkan hal tersebut dengan menggantikkan representasi negatif ini dengan “citra positif”(Artel dan Wengraf, 1990). Representasi yang jelas datang bersama kuasa budaya, tetapi permintaan akan ‘citra positif’ tidak berjalan terlalu jauh karena tidak semua orang setuju mengenai apa yang disebut represenasi ‘negatif’ dan ‘positif’. Seperti yang diungkapkan oleh Lumby (1997:4): “apakah sesuatu yang universal dimana setiap orang dengan kesadaran feminis yang tepat bisa melihatnya merupakan citra seksis dan merendahkan? ‘Apakah citra ‘gadis nakal’ memiliki citra positif atau negatif? Mencari sesuatu untuk mengembalikan kondisi yang tidak seimbang dengan memproduksi representasi perempuan yang lebih positif juga merupakan suatu hal yang sia-sia jika kondisi materi yang mendasarinya kemudian menjadi kaku-citra negatif mungkin tepat, dalam kata lain.

Ketika mempertimbangkan representasi media, daripada mencari ketetapan, mungkin lebih berguna untuk memahami wacana yang mendukung citra tersebut. Lebih jauh lagi, seseorang tidak bisa menganggap bahwa semua orang membaca sebuah representasi dengan cara yang sama. Analisis apapun seharusnya berhati-hati untuk tidak menuduh sebuah citra sebagai sesuatu yang terlalu mendominasi atau merendahkan, karena penilaian semacam itu berbicara atas nama kelompok yang tidak merasakan hal yang sama.

Copyright from Hartley, Jon. 2004.Communications, Cultural, & Media Studies. Diterjemahkan : Kartika Wijayanti. Yogyakarta : Jalasutra.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More