Jumat, 19 November 2010

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIC VAN METER VAN HORN

MODEL SISTEMIK IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIC VAN METER VAN HORN/THE POLICY IMPLEMENTATION PROCES

Model pendekatan implementasi kebijakan yang dirumuskan Van Meter dan Van Horn disebut dengan A Model of the Policy Implementation (1975). Proses implementasi ini merupakan sebuah abstraksi atau performansi suatu pengejewantahan kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari keputusan politik, pelaksana dan kinerja kebijakan publik. Model ini menjelaskan bahwa kinerja kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel yang saling berkaitan, variable-variabel tersebut yaitu:
1. Standar dan sasaran kebijakan/ukuran dan tujuan kebijakan
2. Sumber daya
3. Karakteristik organisasi pelaksana
4. Sikap para pelaksana
5. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik
Secara rinci variabel-variabel implementasi kebijakan publik model Van Meter dan Van Horn dijelaskan sebagai berikut:
1. Standar dan sasaran kebijakan / ukuran dan tujuan kebijakan
Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya dari ukuran dan tujuan kebijakan yang bersifat realistis dengan sosio-kultur yang ada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran dan dan sasaran kebijakan terlalu ideal (utopis), maka akan sulit direalisasikan (Agustino, 2006). Van Meter dan Van Horn (dalam Sulaeman, 1998) mengemukakan untuk mengukur kinerja implementasi kebijakan tentunya menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran tersebut.
Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan kebijakan adalah penting. Implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika para pelaksana (officials), tidak sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan kebijakan. Standar dan tujuan kebijakan memiliki hubungan erat dengan disposisi para pelaksana (implementors). Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan juga merupakan hal yang “crucial”. Implementors mungkin bisa jadi gagal dalam melaksanakan kebijakan, dikarenakan mereka menolak atau tidak mengerti apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan (Van Mater dan Van Horn, 1974).
2. Sumber daya
Keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Setiap tahap implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara apolitik. Selain sumber daya manusia, sumber daya finansial dan waktu menjadi perhitungan penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Derthicks (dalam Van Mater dan Van Horn, 1974) bahwa: ”New town study suggest that the limited supply of federal incentives was a major contributor to the failure of the program”.
Van Mater dan Van Horn (dalam Widodo 1974) menegaskan bahwa:
”Sumber daya kebijakan (policy resources) tidak kalah pentingnya dengan komunikasi. Sumber daya kebijakan ini harus juga tersedia dalam rangka untuk memperlancar administrasi implementasi suatu kebijakan. Sumber daya ini terdiri atas dana atau insentif lain yang dapat memperlancar pelaksanaan (implementasi) suatu kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya dana atau insentif lain dalam implementasi kebijakan, adalah merupakan sumbangan besar terhadap gagalnya implementasi kebijakan.”
3. Karakteristik organisasi pelaksana
Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat dalam pengimplementasian kebijakan. Hal ini penting karena kinerja implementasi kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Hal ini berkaitan dengan konteks kebijakan yang akan dilaksanakan pada beberapa kebijakan dituntut pelaksana kebijakan yang ketat dan displin. Pada konteks lain diperlukan agen pelaksana yang demokratis dan persuasif. Selaian itu, cakupan atau luas wilayah menjadi pertimbangan penting dalam menentukan agen pelaksana kebijakan.
Menurut Edward III, 2 (buah) karakteristik utama dari struktur birokrasi adalah prosedur-prosedur kerja standar (SOP = Standard Operating Procedures) dan fragmentasi.
1. Standard Operating Procedures (SOP). SOP dikembangkan sebagai respon internal terhadap keterbatasan waktu dan sumber daya dari pelaksana dan keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas. SOP yang bersifat rutin didesain untuk situasi tipikal di masa lalu mungkin mengambat perubahan dalam kebijakan karena tidak sesuai dengan situasi atau program baru. SOP sangat mungkin menghalangi implementasi kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk mengimplementasikan kebijakan. Semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang rutin dari suatu organisasi, semakin besar probabilitas SOP menghambat implementasi (Edward III, 1980).
2. Fragmentasi. Fragmentasi berasal terutama dari tekanan-tekanan di luar unit-unit birokrasi, seperti komite-komite legislatif, kelompok-kelompok kepentingan, pejabat-pejabat eksekutif, konstitusi Negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi birokrasi publik. Fragmentasi adalah penyebaran tanggung jawab terhadap suatu wilayah kebijakan di antara beberapa unit organisasi. “fragmentation is the dispersion of responsibility for a policy area among several organizational units.” (Edward III, 1980). Semakin banyak aktor-aktor dan badan-badan yang terlibat dalam suatu kebijakan tertentu dan semakin saling berkaitan keputusan-keputusan mereka, semakin kecil kemungkinan keberhasilan implementasi. Edward menyatakan bahwa secara umum, semakin koordinasi dibutuhkan untuk mengimplementasikan suatu kebijakan, semakin kecil peluang untuk berhasil (Edward III, 1980).
4. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
Agar kebijakan publik bisa dilaksanakan dengan efektif, menurut Van Horn dan Van Mater (dalam Widodo 1974) apa yang menjadi standar tujuan harus dipahami oleh para individu (implementors). Yang bertanggung jawab atas pencapaian standar dan tujuan kebijakan, karena itu standar dan tujuan harus dikomunikasikan kepada para pelaksana. Komunikasi dalam kerangka penyampaian informasi kepada para pelaksana kebijakan tentang apa menjadi standar dan tujuan harus konsisten dan seragam (consistency and uniformity) dari berbagai sumber informasi.
Jika tidak ada kejelasan dan konsistensi serta keseragaman terhadap suatu standar dan tujuan kebijakan, maka yang menjadi standar dan tujuan kebijakan sulit untuk bisa dicapai. Dengan kejelasan itu, para pelaksana kebijakan dapat mengetahui apa yang diharapkan darinya dan tahu apa yang harus dilakukan. Dalam suatu organisasi publik, pemerintah daerah misalnya, komunikasi sering merupakan proses yang sulit dan komplek. Proses pentransferan berita kebawah di dalam organisasi atau dari suatu organisasi ke organisasi lain, dan ke komunikator lain, sering mengalami ganguan (distortion) baik yang disengaja maupun tidak. Jika sumber komunikasi berbeda memberikan interprestasi yang tidak sama (inconsistent) terhadap suatu standar dan tujuan, atau sumber informasi sama memberikan interprestasi yang penuh dengan pertentangan (conflicting), maka pada suatu saat pelaksana kebijakan akan menemukan suatu kejadian yang lebih sulit untuk melaksanakan suatu kebijakan secara intensif.
Dengan demikian, prospek implementasi kebijakan yang efektif, sangat ditentukan oleh komunikasi kepada para pelaksana kebijakan secara akurat dan konsisten (accuracy and consistency) (Van Mater dan Varn Horn, dalam Widodo 1974). Disamping itu, koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan. Semakin baik koordinasi komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan, maka kesalahan akan semakin kecil, demikian sebaliknya.
5. Disposisi atau sikap para pelaksana
Menurut pendapat Van Metter dan Van Horn dalam Agustinus (2006): ”sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana kebijakan sangat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul permasalahan dan persoalan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan publik biasanya bersifat top down yang sangat mungkin para pengambil keputusan tidak mengetahui bahkan tak mampu menyentuh kebutuhan, keinginan atau permasalahan yang harus diselesaikan”.
Sikap mereka itu dipengaruhi oleh pendangannya terhadap suatu kebijakan dan cara melihat pengaruh kebijakan itu terhadap kepentingan-kepentingan organisasinya dan kepentingan-kepentingan pribadinya. Van Mater dan Van Horn (1974) menjelaskan disposisi bahwa implementasi kebijakan diawali penyaringan (befiltered) lebih dahulu melalui persepsi dari pelaksana (implementors) dalam batas mana kebijakan itu dilaksanakan. Terdapat tiga macam elemen respon yang dapat mempengaruhi kemampuan dan kemauannya untuk melaksanakan suatu kebijakan, antara lain terdiri dari pertama, pengetahuan (cognition), pemahaman dan pendalaman (comprehension and understanding) terhadap kebijakan, kedua, arah respon mereka apakah menerima, netral atau menolak (acceptance, neutrality, and rejection), dan ketiga, intensitas terhadap kebijakan.
Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan kebijakan adalah penting. Karena, bagaimanapun juga implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika para pelaksana (officials), tidak sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan kebijakan. Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan. Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan juga merupakan hal yang “crucial”. Implementors mungkin bisa jadi gagal dalam melaksanakan kebijakan, dikarenakan mereka menolak apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan (Van Mater dan Van Horn, 1974).
Sebaliknya, penerimaan yang menyebar dan mendalam terhadap standar dan tujuan kebijakan diantara mereka yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan tersebut, adalah merupakan suatu potensi yang besar terhadap keberhasilan implementasi kebijakan (Kaufman dalam Van Mater dan Van Horn, 1974). Pada akhirnya, intesitas disposisi para pelaksana (implementors) dapat mempengaruhi pelaksana (performance) kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya intensitas disposisi ini, akan bisa menyebabkan gagalnya implementasi kebijakan.
6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik
Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi kebijakan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya implementasi kebijakan mensyaratkan kondisi lingkungan eksternal yang kondusif.

Perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya Van Meter dan Van Horn menawarkan suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijakan dengan implementasi dan suatu model konseptual yang menghubungkan kebijakan dengan kinerja kebijakan. Mereka menegaskan bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep yang penting dalam prosedur-prosedur implementasi. Dengan memanfaatkan konsep-konsep tersebut maka permasalahan yang perlu dikaji dalam hubungan ini ialah
a. Hambatan-hambatan apakah yang terjadi dalam mengenalkan perubahan dalam organisasi
b. Seberapa jauhkan tingkat efektifitas mekanisme-mekanisme kontrol pada setiap jenjang struktur, masalah ini menyangkut kekuasaan dari pihak yang paling rendah dalam organisasi yang bersangkutan.
c. Seberapa pentingkah rasa keterikatan masing-masing orang dalam organisasi (masalah kepatuhan).
Dari pandangan tersebut maka Van Horn dan Van Meter membuat tipologi kebijakan menurut :
a. Jumlah masing-masing perubahan yang akan terjadi
b. Jangkauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara pihak-pihak yang terlibat dalam proses implementasi.
Alasannya dikemukakannya hal ini ialah bahwa proses implementasi itu akan dipengaruhi oleh dimensi-dimensi kebijakan semacam itu. Hal lain yang dikemukan mereka bahwa yang menghubungkan kebijakan dan kinerja dipisahkan oleh sejumlah variabel bebas yang saling berkaitan. Variabel bebas itu adalah :
Ukuran dan tujuan kebijakan
b. Sumber-sumber kebijakan
c. Komunikasi antar organisasi
d. Sikap para pelaksana
e. Lingkungan ekonomi, sosial, politik
.

Kamis, 04 November 2010

Pengertian Voice over Internet Protocol (VoIP)

Terdapat banyak protocol yang dimungkinkan ada pada jaringan IP (Internet Protocol), diantaranya: protokol untuk signalling, yaitu H.323 dan SIP (Session Initation Protocol), kemudian protokol untuk mengontrol gateway, yaitu MGCP ( Media Gateway Control Protocol). Begitu pentingnya signalling pada jaringan Internet Protocol, yakni agar memberikan kemudahan operasi dan level fungsi yang maksimal.

Media telekomunikasi internasional Telkom Global 017 dalam melakukan sambungan langsung internasionalnya menggunakan Internet Protocol H.323, dari segi kualitas layanan H.323 memiliki admission control yang berfungsi untuk mengontrol apakah jaringan cukup untuk melakukan sambungan langsung internasional.


Jumlah pengguna internet yang sangat banyak dengan pertumbuhan pesat, maka admission control dari suatu protokol menjadi sebuah persyaratan yang sangat penting, karena akan berpengaruh pada skalabilitas Internet Protocol tersebut, yakni kompleksitas, lokasi endpoint, pemrosesan server, komunikasi interserver dan komunikasi multipoint.


H.323 adalah protokol yang sangat kompleks, karena merupakan protokol untuk berkomunikasi secara multimedia yang berbasis paket, sehingga berbeda dengan protokol-protokol lain yang berada dibawahnya, yakni memiliki fungsi dan spesifikasi yang berbeda. Beberapa jenis layanan juga membutuhkan interaksi dan koordinasi antara sub-sub protokol yang akan menambah kompleksitas H.323.


Pada umumnya terdapat lima fase yang terjadi pada operasi dasar H. 323, yakni

Fase 1: inisialisasi call

Fase2 : pembangunan kanal call

Fase 3: permulaan dari call yang dilakukan

Fase 4: percakapan

Fase 5 : penutupan call


Protokol yang baik harus memiliki kemampuan untuk mengembangkan fungsi-fungsi yang dimilikinya. H.323 menggunakan filed NonStandardParam di ASN.1 untuk mengembangkan fitur-fiturnya. Pada protokol H.323 seluruh fitur yang ada dapat dintegrasikan satu sama lainnya, sehingga memudahkan untuk melakukan akses telekomunikasi internasional.


Sesuai dengan pesatnya kemajuan teknologi di bidang telekomunikasi, protokol H.323 merupakan solusi sistem signalling yang mampu memberikan fasilitas-fasilitas yang lebih lengkap daripada sistem signalling lainnya. H.323 didefinisikan sebagai tipe signalling multi fungsi yang memungkinkan untuk membawa seluruh data informasi, seperti voice yang dapat dikontrol melalui network signalling.


Protokol H.323 terus dikembangkan dengan menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang dimilikinya. Pengembangan juga dimaksudkan untuk mengantisipasi kebutuhan pelayanan mutu dan jenis layanan para pelanggan sambungan langsung internasional Telkom Global 017 ini. Meskipun tergolong baru, namun dengan kemudahan dan kesederhanaan akan lebih membuat teknologi ini mudah digunakan dan dikembangkan.


Telkom Global 017 menggunakan sarana VoIP (Voice over Internet Protocol) H. 323 untuk sambungan langsung internasionalnya ini, tentu saja dengan keunggulan-keunggulan yang dimilikinya, dapat membantu proses komunikasi antara pihak komunikator untuk menyampaikan pesan kepada pihak komunikan agar tercipta sebuah komunikasi yang efektif, dan menguntungkan bagi kedua belah pihak.

Teori Simbol

Ketika masyarakat majemuk berinteraksi dengan masyarakat lain yang berbeda budaya, maka tatkala proses komunikasi dilakukan, simbol-simbol verbal atau nonverbal secara tidak langsung dipergunakan dalam proses tersebut. Penggunaan simbol-simbol ini acapkali menghasilkan makna-makna yang berbeda dari pelaku komunikasi, walau tak jarang pemaknaan atas simbol akan menghasilkan arti yang sama, sesuai harapan pelaku komunikasi tersebut.

Maka, simbol yang diartikan Pierce sebagai tanda yang mengacu pada objek itu sendiri, melibatkan tiga unsur mendasar dalam teori segi tiga makna : simbol itu sendiri, satu rujukan atau lebih dan hubungan antara simbol dengan rujukan (Sobur, 2003 : 156). Di sini dapat dilihat, bahwa hubungan antara simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandakan (petanda) sifatnya konfensional. Berdasarkan konvesi tersebut, Alex Sobur (2003 : 156) memaparkan, masyarakat pemakainya menafsirkan ciri hubungan antara simbol dengan objek yang diacu dan menafsirkan maknanya.

Simbol tidak dapat hanya disikapi secara isolatif, terpisah dari hubungan asosiatifnya dengan simbol lainnya. Simbol berbeda dengan bunyi, simbol telah memiliki kesatuan bentuk dan juga makna. Maka, pada dasarnya simbol dapat dibedakan menjadi simbol-simbol universal, simbol kultural yang dilatarbelakangi oleh kebudayaan tertentu, dan simbol individual (Hartoko-Rahmanto, 1998 : 133).

Sedangkan dalam “bahasa” komunikasi, simbol ini seringkali diistilahkan sebagai lambang. Di mana simbol atau lambang dapat diartikan sebagai sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan kelompok/masyarakat (Sobur, 2003 : 157). Lambang ini meliputi kata-kata (berupa pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama. Kemampuan manusia menggunakan lambang verbal dan nonverbal memungkinkan perkembangan bahasa dan menangani hubungan antara manusia dan objek (fisik, abstrak dan sosial) tanpa kehadrian manusia dan objek tersebut.

Inilah yang dilakukan masyarakat suku Amungme, di mana dalam kebudayaan masyarakat tersebut, simbol-simbol/lambang digunakan untuk menunjuk objek fisik dan objek abstrak dalam kehidupan mereka, yang telah mereka yakini secara turun-temurun. Gunung dan tanah disimbolkan sebagai ibu mereka yang memberikan kehidupan dan kematian pada nantinya. Air-air sungai yang membelah perkampungan masyarakat suku Amungme ini dimaknai sebagai air susu yang mengalir melalui payudara sang ibu. Dapat dikatakan, bahwa masyarakat tersebut telah melakukan simbolisasi yang maknanya telah disepakati bersama.

Walaupun simbol/lambang merupakan salah satu kategori tanda (sign), dan Pierce pun menyatakan bahwa tanda (signs) terdiri atas ikon, indeks dan simbol, akan tetapi simbol dan tanda adalah dua hal yang berbeda. Perbedaan itu terletak pada pemaknaan keduanya terhadap objek-objek yang ada di sekelilingnya. Tanda berkaitan langsung dengan objek dan tanda dapat berupa benda-benda serta tanda-tanda yang merupakan keadaan. Sedangkan simbol, seperti yang dikutip Sobur (2003 : 160-62), memerlukan proses pemaknaan yang lebih intensif setelah menghubungkan simbol dengan objek, simbol pun lebih sustensif daripada tanda.

Sedangkan Saussuren berpendapat, simbol merupakan diagram yang mampu menampilkan gambaran suatu objek meskipun objek itu tidak dihadirkan. Sebuah simbol, dalam perspektif Saussuren, adalah jenis tanda di mana hubungan antara penanda dan petanda seakan-akan bersifat arbitrer. Konsekuensinya, hubungan antara kesejarahan mempengaruhi pemahaman pelaku komunikasi, yaitu individu/masyarakat (Sobur, 2003 : 158-62).

Hubungan antara simbol dengan komunikasi adalah simbol dan juga komunikasi, tidak muncul dalam suatu ruang hampa sosial, melainkan dalam suatu konteks atau situasi tertentu. Di mana pada dasarnya konteks merupakan suatu situasi dan kondisi yang bersifat laihr dan batin yang dialami para peserta komunikasi. Menurut Liliweri (2001 : 198) seperti yang dikutip Alex Sobur dalam Semiotika Komunikasi, konteks dikenal dalam beberapa bentuk, antara lain : konteks fisik, konteks waktu, konteks historis, konteks psikologis dan konteks sosial budaya.

Masih berhubungan dengan uraian di atas, Mead (dalam Mulyana, 2001 : 80) membedakan simbol menjadi simbol signifikan (significant symbol) dan tanda alamian (natural signs). Menurut Mead, simbol signifikan yang merupakan bagian dari dunia makna digunakan dengan sengaja sebagai sarana komunikasi. Sedangkan tanda alamiah yang merupakan bagian dari dunia fisik digunakan secara spontan dan tidak sengaja dalam merespon stimuli. Di mana makna simbol secara sembarang dipilih dan berdasarkan kesepakatan yang tidak memiliki hubungan kausal dengan apa yang direpresentasikannya (Sobur, 2003 : 163).

Karena kebutuhan pokok manusia adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang dan sifat dasar manusia adalah kemampuannya menggunakan simbol, maka simbol adalah sesuatu yang berdiri/ada untuk sesuatu yang lain, kebanyakan diantaranya bersembunyi atau tidaknya, tidak jelas. Selan itu menurut Sussane Langer (dalam Johannesen, 1996 : 47), bahwa dengan kebutuhan dasar akan simbolisasi yang mungkin tidak dimiliki makhluk lain –selain manusia- maka simbolisasi akan berfungsi secara kontinu dan merupakan proses yang fundamental pikiran manusia.

Dengan keunikan ini, maka manusia sebagai pelaku komunikasi dapat segera mengubah data tangkapan indra menjadi simbol-simbol, dan manusia dapat menggunakan simbol-simbol untuk menunjuk kepada simbol lain dan untuk mewariskan pengetahuan, wawasan, juga kebudayaan yang terpendam dari generasi ke generasi (Sobur, 2003 : 164). Maka, simbol dapat berdiri untuk suatu institusi, cara berpikir, ide, harapan dan banyak hal lainnya. Melalui simbolisasi ini pula, dapat dikatakan bahwa manusia sudah memiliki kebudayaan yang tinggi dalam berkomunikasi, seperti adanya bunyi, isyarat sampai kepada simbol yang dimodifikasi dalam bentuk sinyal-sinyal melalui gelombang udara dan cahaya (Sobur, 2003 : 164).

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More